Rahmat Nuriyansyah |
Berbicara Pendidikan memang tiada hentinya, berbicara kearifan memang itu, memang
sejatinya. Kias akan percaturan pendidikan yang membuat bangsa merasa terdigte.
Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan sejak tahun 2005
masih menuai pro dan kontra. Setiap menjelang ujian digelar, suara miring
menentang penyelenggaraan UN masih bermunculan di media massa. Sebaliknya
banyak juga kalangan yang mendukung pelaksanaan UN. Pemerintah tetap
menyelenggarakan, bahkan batas terendah kelulusan nilai rata-rata UN selalu
dinaikkan setiap tahun. Guru resah tingkat dewa, siswa galau tingkat kahyangan.
Para kepala sekolah bingung, tapi masih sempat nyanyi pada acara arisan MKKS.
Semuanya adalah untuk mengembangkan kualitas pendidikan di
Indonesia untuk menciptakan generasi yang unggul dalam semua bidang.
Menciptakan siswa yang mempunyai pendidikan karakter berbasis Pancasila dan UUD
1945. Tetapi realitanya berbeda.
Haruskah
siswa lulus 100% ?
Pertanyaan ini menggelitik sebagian besar guru yang didaulat
sebagai faktor penentu keberhasilan siswa dalam UN. Setiap guru tentunya ingin
melihat muridnya-muridnya lulus 100%, tapi jika harus “diluluskan” 100% tidak
semua guru setuju.
Idealisme sering bertolak belakang dengan kepentingan orang
banyak. Bukankah sejak kecil kita sudah diajarkan mendahulukan kepentingan
orang banyak di atas kepentingan pribadi? Bukankah kita harus mengutamakan
pendapat mayoritas di atas pendapat pribadi.
Kebanyakan masih berkepentingan agar semua siswa diluluskan
dalam UN. Semua siswa ingin lulus, orang tua siswa menginginkan anak-anak
mereka dapat lanjut ke jenjang pendidikan selanjutnya, sekolah secara
kelembagaan ingin mempertahankan kredibilitas sebagai lembaga pendidikan yang
mampu meluluskan seluruh siswa dan mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Kepala Dinas Pendidikan Kab/Kota memberikan penghargaan
“peniti emas” kepada para kepala sekolah yang sukses meluluskan siswanya 100%.
Bapak gubernur pun bangga melaporkan kepada menteri kemajuan pendidikan di
wilayahnya. Kelulusan siswa 100% juga mendukung program pemerintah Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Berbagai kepentingan inilah yang harus
diakomodir oleh pihak sekolah, terutama oleh kepala sekolah sebagai pemegang
otoritas manajemen kepemimpinan. Jika tidak, kepala sekolah terancam dicopot
karena dianggap tidak cakap.
Ironisnya, di tengah-tengah gencarnya masalah UN yang rawan
kecurangan ini diperdebatkan, pemerintah menggulirkan program pendidikan
karakter bagi siswa yang tentunya harus dimulai dari guru. Banyak guru
mengeluhkan, bagaimana menanamkan karakter jujur kepada siswa jika dalam UN
masih harus dibantu agar lulus? Agar tidak salah kaprah, guru harus menerima
dalil “walaupun salah, tapi jika disepakati bersama, maka itu adalah
kebenaran”. Kata orang bijak, “di atas aturan, ada kebijakan”.
Karena ketidakfatsunannya antara kebenaran dimata Tuhan,
maka terjadi ketimpangan dimata Tuhannya. Manusia menilai itu benar tetapi
Tuhan menilai itu salah. Manusia sadar akan kearifan dalam berkehidupan ketika
manusia dihadapkan dengan sebuah cobaan dari Tuhan. Estetika sosial ini telah
ditelanjangi oleh sebuah kebodohan. Haruskan sosok Tuan Guru hidup kembali
ataukah sosok Tuan Guru harus terlahir kembali atau sudah siapkah menjadi sosok
itu???
Dewasa ini orang jujur sudah termasuk manusia langka.
Sedemikian langkanya, sehingga saat pengumuman lulus dengan bangga sekolah
mengumumkan kelulusan 100% siswa, meski dalam hati kecil mengatakan seandainya
mau jujur ada sekitar 15% siswa tidak lulus. Mungkin tidak pernah kita dengar
ada orang tua yang memberikan hadiah HP pada anaknya yang tidak lulus UN karena
mengerjakan soal dengan jujur.
Kembali pada pertanyaan “haruskah siswa lulus 100%?”.
Idealnya tidak harus, namun dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan, maka
jawabanya adalah “harus”. Maka guru yang terpaksa membantu siswanya agar lulus
UN adalah “guru yang mendahulukan kepentingan orang banyak di atas kepentingan
pribadi”. Tapi kita masih bisa menyisakan satu harapan bahwa ketika ditanya
mereka akan jujur mengatakan bahwa mereka “tidak jujur dalam UN”,
Penulis : Abangku "Rahmat Nuriansyah", : Mahasiswa di Universitas Majalengka, asli Brebes